Tindakan kejahatan oleh polisi terus berulang. Kali ini kasus pemerasan yang dilakukan oleh dua polisi yang berdinas di Kepolisian Daerah
Sumatera Utara. Mereka memeras SMK Negeri terkait dana alokasi khusus
(DAK) untuk kegiatan sekolah hingga miliaran rupiah.
KORPS Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri menetapkan dua anggota Polda Sumatera Utara tersebut sebagai
tersangka.
Kepala Kortastipidkor Polri Irjen Cahyono Wibowo mengatakan bahwa tersangka
pertama adalah Kompol R (Ramli) selaku Ps Kasubdit Tipidkor Ditreskrimsus
Polda Sumut.
“Itu sudah kami tetapkan tersangka dan yang bersangkutan telah melakukan
upaya perlawanan hukum praperadilan atas penetapan tersangkanya,” kata
Cahyono kepada wartawan di Jakarta, Selasa (18/3/2025).
Lalu, tersangka kedua adalah Brigadir BSP selaku penyidik pembantu pada
Subdit Tipidkor Ditreskrimsus Polda Sumut.
Kedua polisi itu saat ini telah dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan
hormat (PTDH) atau dipecat dari Polri.
“Setelah PTDH, kami tetapkan tersangka dan langsung kami tahan di Rutan
Bareskrim Polri,” ujarnya.
Cahyono menjelaskan, kasus tersebut bermula dari kedua tersangka
bersama-sama memaksa kepala sekolah SMKN di Sumut untuk memberikan bagian
dari proyek DAK dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Tersangka BSP dan tim meminta proyek pekerjaan DAK fisik ke Dinas Pendidikan
Sumut dan kepala sekolah SMKN yang menerima dana tersebut.
“Yang tidak mau diminta pekerjaannya, kedua orang tersangka ini pakai
kewenangan yang dimilikinya untuk mengundang yang kepala sekolah,”
ungkapnya.
Para kepala sekolah yang menolak, dikirimi surat aduan masyarakat (dumas)
fiktif terkait dugaan korupsi dana bantuan operasional satuan pendidikan
atau BOSP yang seolah-olah laporan dari masyarakat.
Ketika para kepala sekolah datang ke Polda Sumut, ternyata mereka tidak
diperiksa terkait dana BOSP, melainkan diminta mengalihkan pekerjaan proyek.
Jika kepala sekolah menolak mengalihkan pekerjaan, maka mereka diminta
menyerahkan fee kepada tersangka R sebesar 20 persen dari
anggaran.
Adapun total fee yang telah diserahkan 12 kepala sekolah SMKN di
Sumut kepada tersangka BSP dan tim adalah sebesar Rp4,7 miliar. Salah satu
barang bukti yang diamankan adalah uang tunai senilai Rp400 juta yang
ditemukan di mobil milik tersangka R.
“Pada saat kami mau melakukan upaya paksa penangkapan tersangka, mobilnya
ada di bengkel dan di bengkel itu ada duitnya. (Barang bukti uang) di dalam
tas koper,” ucapnya.
Atas perbuatan tersebut, kedua mantan polisi itu disangkakan dengan Pasal
12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Cahyono juga membuka kemungkinan adanya tersangka lain yang terlibat dalam
kasus ini.
“Ada, nanti kalau ada kami update. Yang pihak swastanya ada
juga,” ucapnya.
WNA Malaysia Diperas Polisi
Sebelumnya, sebanyak 45 warga negara (WN) Malaysia menjadi korban pemerasan
polisi saat menghadiri acara festival musik Djakarta Warehouse Project atau
DWP 2024 di Jakarta.
Belasan anggota polisi telah dicopot dari jabatannya dan terancam sanksi
pemberhentian tidak dengan hormat atau PTDH terkait kasus pemerasan
tersebut. Namun para penggiat anti korupsi menilai sanksi etik saja tidak
cukup, mereka menuntut agar pelaku dijerat dengan Undang-Undang Tindak
Pidana Pemberantasan Korupsi atau Tipikor.
AMIR Mansor (29), bersama teman-temannya terbang dari Malaysia menghadiri
acara DWP 2024 di Jakarta International Expo atau JIExpo pada 13-15 Desember
2024.
Amir adalah penikmat musik rave. Dia sudah biasa mengikuti festival musik
elektronik terbesar di Asia itu. Pada tahun 2023 lalu, Amir juga menyaksikan
DWP di Bali. Pengalaman menyenangkan itu membuatnya ingin kembali mengulang
di DWP 2024.
Sayang harapannya tak sesuai kenyataan. Dikutip dari BBC News Indonesia,
Amir bersama delapan temannya didatangi sejumlah anggota Polri berpakaian
preman di saat hendak pulang ke hotel di malam pertama usai menghadiri acara
DWP 2024 di JIExpo. Polisi-polisi itu menggeladah isi dompet dan
barang-barang yang mereka bawa.
Anehnya walau tak ditemukan barang bukti narkoba, Amir dkk tetap
digelandang ke Polda Metro Jaya. Di sana, mereka dites urine. Polisi
melarang mereka menghubungi pengacara dan Kedutaan Besar Malaysia.
"Mereka cuma mengizinkan kami menghubungi keluarga kami, tapi mereka
memonitor komunikasi kami, lalu menyita kembali ponsel kami," kata Amir.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Fadhil Alfathan menyebut
polisi melakukan penyalahgunaan wewenang melakukan tes urine terhadap Amir
cs. Berdasar aturan, menurut dia, tes urine hanya dapat dilakukan dalam
konteks penegakan hukum.
Artinya, tidak bisa dilakukan secara acak tanpa ada kepastian bahwa
prosesnya sudah bergulir di ranah penyidikan. Apa yang dilakukan anggota
polisi terhadap Amir dan teman-temannya, menurut Fadhil merupakan bentuk
kesewenang-wenangan.
Selain melanggar aturan, tindakan anggota polisi itu melanggar hak atas
privasi dan keamanan pribadi seseorang sebagaimana dijamin dalam Pasal 9
Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Ketentuan HAM internasional
itu menjamin bahwa tidak seorangpun dapat dirampas kebebasannya tanpa
alasan-alasan yang sah dan tanpa prosedur yang ditetapkan oleh hukum.
"Terlebih, dalam kejadian ini, terdapat tindakan pemerasan oleh polisi
terhadap pengunjung yang urinenya dinyatakan positif. Hal ini semakin
memperjelas kesewenang-wenangan dan perilaku koruptif polisi," jelas Fadhil
kepada Suara.com, Senin (30/12/2024).
Amir dan delapan orang temannya diketahui sempat dimintai sejumlah uang
sebagai syarat untuk bebas sekalipun hasil tes urine dari beberapa temannya
negatif. Menurut pengakuan Amir, nominal uang yang diminta mencapai Rp800
juta. Namun, setelah bernegosiasi akhirnya mereka hanya membayar sebesar
RM100.000 atau sekitar Rp360 juta.
Amir sempat menunjukkan beberapa bukti transfer ke rekening seseorang
berinisial MAB. Ia menyebut MAB merupakan seorang pengacara yang ditujuk
polisi untuk mendampingi mereka. Selain MAB ada satu pengacara lain
berinisial AT.
Setelah menyerahkan uang, Amir dan teman-temannya lalu dibebaskan pada
Minggu, 15 Desember 2024. Ia telah melaporkan kejadian ini ke Mabes Polri melalui surat elektronik.
Diproses Etik
Kadiv Propam Polri Irjen Abdul Karim menyebut total warga negara Malaysia
yang menjadi korban pemerasan mencapai 45 orang. Namun ia membantah kabar
terkait nominal uang hasil pemerasan yang sempat disebut-sebut mencapai Rp32
miliar.
Berdasar hasil penyelidikan, uang diduga hasil pemerasan itu sebesar Rp2,5
miliar. Uang tersebut diklaim telah disita sebagai barang bukti. Sedangkan
total anggota yang terlibat mencapai 18 orang. Mereka merupakan anggota
Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat, dan
Polsek Kemayoran.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat atau Karopenmas Divisi Humas Polri
Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menyampaikan, 18 anggota itu telah dicopot
dari jabatannya. Mereka juga ditahan di tempat khusus atau patsus dalam
rangka pemeriksaan. Sidang etik terhadap anggota bermasalah ini telah
dijadwalkan digelar pekan ini.
"Semuanya masih berproses secara berkesinambungan dan transparan bersama
eksternal dari Kompolnas," kata Trunoyudo saat dikonfirmasi, Senin
(30/12/2024).
Berdasar data yang sempat beredar 12 dari 18 anggota polisi yang diduga
melakukan pemerasan adalah AKBP MV, Kompol J, Kompol DF, AKP YTS, Iptu SM,
Iptu S, Aiptu AJ, Brigadir DW, Brigadir FR, Bripka WT, Bripka RP dan Briptu
D. AKBP MV diketahui merupakan Kasubdit III Direktorat Reserse Narkoba Polda
Metro Jaya. Sementara Kompol J merupakan Kasat Narkoba Polres Metro Jakarta
Pusat.
Menurut Fadhil Polri perlu bersikap transparan dalam menangani perkara ini.
Termasuk mengungkap identitas para pelaku yang terlibat. Selain memproses
mereka secara etik, ia juga mendorong agar para pelaku diproses pidana.
Pasalnya, kata Fadhil, Polri acap kali mengesampingkan proses pidana
terhadap anggotanya yang bermasalah. Berdasar catatan LBH Jakarta di
sepanjang tahun 2013-2022, terdapat 58 kasus kekerasan yang dilakukan
anggota polisi tidak diproses secara etik dan pidana.
"Dengan kondisi demikian, menjadi wajar apabila publik mencurigai bahwa
proses terhadap 18 personel ini hanya berada pada level pelaku lapangan dan
tidak menyentuh pelaku di level pengambil keputusan," ujarnya.
Kapolri Tidak Tegas
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies
(ISESS), Bambang Rukminto, meminta Presiden Prabowo Subianto untuk
mengevaluasi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Hal ini disebabkan
semakin maraknya kasus dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat
kepolisian.
Bambang mengatakan salah satu penyebab maraknya pelanggaran hukum oleh
kepolisian adalah tidak berjalannya reformasi di tubuh Polri. Menurutnya,
hal ini terjadi karena lemahnya kepemimpinan di puncak Polri.
“Salah satu problem tidak berjalannya reformasi di kepolisian adalah
lemahnya kepemimpinan. Lemahnya leadership ini ditandai dengan
ketidakkonsistenan penegakan aturan, baik UU maupun peraturan organisasi,”
ujar Bambang kepada wartawan, Minggu (23/3/2025).
Bambang menilai kasus pemerasan yang terus terjadi menunjukkan bahwa tidak
ada konsistensi dari kepemimpinan Polri. Ia pun menyoroti seolah-olah
prinsip kesamaan di mata hukum tidak berlaku bagi anggota kepolisian yang
melakukan pelanggaran hukum.
"Prinsip equality before the law seolah tidak berlaku bagi anggota
kepolisian. Hal ini ditandai dengan tidak segera ada proses pidana bagi
personel pelaku pemerasan dengan berbagai dalih," jelasnya.
Menurutnya, ketidakjelasan dalam penanganan kasus ini menunjukkan kurangnya
ketegasan dari Kapolri. Oleh karena itu, dia menilai penting untuk melakukan
evaluasi terhadap Kapolri.
“Itu tidak akan terjadi bila pucuk pimpinan Polri memiliki ketegasan. Jadi
sebelum melakukan reformasi total yang lebih kompleks, evaluasi kepemimpinan
Kapolri itu harusnya dilakukan lebih dulu,” tegas Bambang.
Bambang menambahkan bahwa Presiden RI ke-8 Prabowo Subianto perlu membangun
pondasi kuat untuk menciptakan stabilitas dan akan mendukung pembangunan
ekonomi negara. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan tingginya tingkat
kepastian hukum.
Tanpa kepastian hukum dan penegakan hukum yang adil, sulit bagi negara
untuk membangun stabilitas politik dan sosial yang demokratis.
“Polri sebagai ujung tombak penegakan hukum memiliki peran sangat vital.
Maka, reformasi Polri itu mutlak dilakukan," tuturnya.
Dia juga menekankan pentingnya revisi UU Polri sebagai infrastruktur untuk
mendukung reformasi yang lebih komprehensif. Revisi ini memerlukan dukungan
dari Polri, termasuk pimpinan Polri.
Copas dari
https://liks.suara.com/read/2025/03/24/090428/polisi-peras-miliar-rupiah-dana-sekolah-korupsi-menggurita-di-tubuh-polri
No comments:
Post a Comment